TANTANGAN BAGI ORANGTUA
Membesarkan anak adalah sebuah tantangan. Ibu dan bapak
memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anak-anak; peran yang saling
melengkapi di dalam keluarga dalam membantu anak mengembangkan identitas
dirinya. Hal ini berarti, ibu dan bapak perlu bekerja sama dalam memikul
tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang optimal
(baik).
Ketika ibu dan bapak mendapat karunia untuk membesarkan
anak berkebutuhan khusus, tentunya situasi yang harus dihadapi akan menjadi
sangat jauh berbeda. Ada dukungan yang harus lebih banyak diberikan, ada
diskusi yang harus lebih sering dilakukan, ada kerja sama yang pastinya harus
dijalin, berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjadi model (contoh) yang baik,
harus dapat menunjukkan rasa cinta yang tulus dan lebih kepada pasangan dan
anak-anak.
Sebuah
puisi indah yang bisa menjadi renungan:
”100
tahun dari sekarang, tidak peduli berapa banyak uang di bank yang saya miliki,
jenis rumah seperti apa yang saya tinggali, dan juga jenis mobil apa yang saya
kendarai…Tapi
dunia akan menjadi berbeda karena saya pernah menjadi bagian yang penting di
dalam kehidupan anak” (anonymous)
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Setiap anak lahir dengan membawa potensi (kemampuan) di
dalam dirinya yang harus dikembangkan secara optimal, potensi-potensi itu
adalah:
1. Bahasa dan Bicara
2. Kemandirian
3. Sikap dan Perilaku
4. Kecerdasan
5. Keterampilan Bergerak
6. Sosial Emosional
1. Bahasa dan Bicara
2. Kemandirian
3. Sikap dan Perilaku
4. Kecerdasan
5. Keterampilan Bergerak
6. Sosial Emosional
Melalui pengasuhan, perawatan, pembimbingan, dan
pendidikan (4P) pada anak yang dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan
akan membuat potensi-potensi tersebut berkembang. Hanya saja, 4P pada anak
menjadi tidak mudah jika anak memiliki masalah atau gangguan dalam tahap
perkembangannya yang biasa disebut anak lambat berkembang (ALB) dan anak
berkebutuhan khusus (ABK).
ALB adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan, satu atau dua aspek perkembangannya tidak sama dengan anak pada umumnya. Dengan kata lain, ALB adalah anak yang pada waktu dilakukan pemeriksaan perkembangan mengalami keterlambatan 1—2 aspek perkembangan dari tingkat umur.
ALB adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan, satu atau dua aspek perkembangannya tidak sama dengan anak pada umumnya. Dengan kata lain, ALB adalah anak yang pada waktu dilakukan pemeriksaan perkembangan mengalami keterlambatan 1—2 aspek perkembangan dari tingkat umur.
ABK adalah anak yang mengalami keterlambatan lebih dari
dua aspek perkembangan dan lebih dari satu tingkat umur atau anak yang
mengalami penyimpangan. Gangguan dan hambatan dalam beberapa aspek tersebut
adalah:
1. Fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa)
2. Bahasa dan komunikasi (tunarungu, anak dengan gangguan
2. Bahasa dan komunikasi (tunarungu, anak dengan gangguan
komunikasi)
3. Emosi dan perilaku (tunalaras).
4. Sensorimotor (tunadaksa).
5. Intelektual (tunagrahita).
6. Bakat (umum dan khusus).
7. Autisme.
8. Gangguan belajar (learning
disabilities).
Dengan demikian, ABK membutuhkan layanan pendidikan
khusus. ABK membutuhkan metode, materi pembelajaran atau kegiatan, pelayanan
dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal, karena
anak-anak ini mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga
dengan cara yang berbeda.
BERI SEBUTAN YANG BERMARTABAT
Walaupun ABK memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda
dengan anak-anak secara umum, namun mereka harus tetap mendapat perlakuan dan
kesempatan yang sama. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memberikan
sebutan yang bermartabat kepada mereka.
Penyebutan bagi ABK telah mengalami perubahan dari waktu
ke waktu. Penerimaan akan penyebutan yang lebih positif menggambarkan bahwa ABK
lebih banyak dilihat persamaannya dengan anak kebanyakan dibandingkan hanya
memerhatikan perbedaan yang dimilikinya. Ketika seseorang dapat menyebutkan
“anak penyandang tunanetra”, itu memberikan pemaknaaan bahwa kata “anak” di
depan memperlihatkan pentingnya penerimaan kita akan anak itu sendiri, bukan
sebagai sosok yang lain tetapi anak secara utuh. Kata “penyandang buta”
(tunanetra) menunjukkan bahwa “buta” (tunanetra) merupakan kondisi yang dialami
anak dan itu adalah persoalan kedua yang harus menjadi perhatian kita. Dengan
demikian penyebutan “anak penyandang tunanetra” adalah untuk memperlihatkan
bahwa anak itu lebih penting daripada ketidakmampuan yang dialaminya.
Jadi, janganlah kita menyebut anak-anak berkebutuhan
khusus ini dengan sebutan anak cacat, anak buta, anak autis, dan lain
sebagainya, melainkan anak dengan keterbatasan kemampuan fisik, anak dengan
ketidakmampuan untuk melihat, anak penyandang autisme, dan sebagainya.
MENERIMA KENYATAAN
Sebagai seorang psikolog selama lebih kurang 20 tahun,
sudah ratusan orangtua yang saya temui dengan keluhan atau harus menghadapi
anaknya yang didiagnosis sebagai anak berkebutuhan khusus. Seorang sahabat
bercerita, ketika anak yang dilahirkannya didiagnosis mengalami sindroma down,
ia pun merasa syok yang hebat. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya; ia
merasa tidak percaya akan berita itu, sedih langsung menyergap, menolak
kenyataan itu, bersalah mengapa harus melahirkan anak dengan kondisi seperti
itu, membayangkan anak itu akan tumbuh dan berkembang berbeda dengan anak lain,
hati selalu berkabung, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dengan lancar
mengucapkan kata sindroma down. Perasaan-perasaan seperti itulah yang
berkecamuk pada orangtua ketika mengetahui anaknya didiagnosis mengalami suatu
kelainan.
Dalam psikologi, ada yang dinamakan “siklus
kedukaan”. Ketika orang dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan, secara
disadari atau tidak, dia akan berusaha menyangkal kondisi itu. Selain itu,
orang juga bisa mewujudkan kedukaan tersebut dengan cara marah, entah marah
kepada dirinya sendiri atau orang sekitar yang terdekat. Pendampingan yang
bersifat netral dapat membuat orang keluar dari masa ini.
Ketika kedua tahapan ini dapat diatasi, yang
bersangkutan dapat masuk ke dalam tahapan perundingan. Di sini ia mulai mencari
cara untuk berkompromi, mulai bisa melihat sisi positif dari kejadian yang
dialaminya, dan mencari-cari jalan penyelesaiannya. Jadi, ada tahapan depresi
(sedih, perasaan tertekan) dan ada tahapan dimana orang mulai bisa menerima
kenyataan yang harus dihadapinya, hingga akhirnya orang tersebut masuk pada
tahapan penerimaan, yaitu bisa menerima kenyataan hidup secara objektif (yang
sebenarnya).Demikian
juga pada orangtua yang harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya menyandang
kebutuhan khusus.
Mereka akan melewati siklus ini, mungkin ada yang
berhasil hingga bisa mencapai tahap penerimaan tapi tidak sedikit yang
terbelenggu pada tahap penolakan, kemarahan, perundingan, atau depresi. Semua
ini sangat bergantung pada kondisi fisik dan psikologis (kejiwaan atau mental)
ibu dan ayah, anak itu sendiri, serta lingkungan sekitarnya. Dukungan positif
dari lingkungan sekitar akan memberikan dampak yang baik bagi orangtua dan anak
penyandang kebutuhan khusus tersebut.
Tentunya butuh waktu yang tidak sebentar bagi orangtua
untuk bisa sampai pada tahapan penerimaan. Ketika sudah mencapai tahapan
penerimaan pun, bukan berarti akan terus bertahan di tahap itu, karena bisa
jadi malam mengalami kemunduran ke tahap yang lebih rendah, lalu meningkat
lagi, dan seterusnya.
Ada salah satu orangtua dari anak penyandang autisme
yang sudah menyadari bahwa anaknya harus mendapatkan terapi tertentu. Dia
lakukan terapi tersebut dengan cukup tekun, bahkan dia pergi ke berbagai ahli
untuk bisa “menyembuhkan” anaknya. Dari cerita ini terlihat, sudah muncul
pemahaman pada si ibu bahwa anaknya harus mendapatkan perlakuan tertentu. Akan
tetapi, bagaimana kenyataanya? Ternyata tidak.
Hal ini diperlihatkan dari cara si ibu memperlakukan
anaknya sewaktu pergi ke tempat terapi. Ketika anaknya turun dari mobil, si ibu
akan membawa anaknya seperti layaknya seseorang mengangkut sebuah karung
barang: tangan si ibu mencengkeram kuat tangan si anak dan menarik si anak untuk
masuk ke ruang terapi, sementara si anak berjalan dengan terseret-seret
mengikuti ibunya.
Perlengkapan minum, baju ganti, dan buku terapi hanya
dimasukkan ke dalam kantong plastik besar yang diikat dan dibawa oleh si ibu.
Situasi seperti ini sangat jelas memperlihatkan betapa sang ibu masih sulit
untuk menerima sepenuh hati kondisi anaknya. Walaupun ia tidak ragu untuk
mengeluarkan uang ratusan juta rupiah bagi pengobatan anaknya, tapi si ibu
masih kesulitan untuk mengikuti proses penyembuhan itu. Akibatnya, walaupun
sudah hampir tiga tahun mengikuti terapi, namun hasilnya belum tampak bermakna.
Ada pula orangtua yang anaknya mengalami kelumpuhan pada
kedua tangan dan kakinya, tetapi si anak selalu disembunyikan di dalam rumah,
jarang dibawa ke luar rumah dan tidak pernah dibawa ke petugas kesehatan.
Orangtua tersebut sepertinya merasa malu, sementara si anak semakin bertambah
umur semakin terlambat perkembangannya dan orangtua pun menjadi bingung.
Kisah lain terlihat pada anak yang mengalami
keterlambatan bicara berikut ini. Si orangtua, begitu mengetahui bahwa anaknya
didiagnosis mengalami keterlambatan bicara, langsung bahu-membahu untuk
mengantarkan sang anak mengikuti terapi bicara. Ibu dan ayah dengan sabar dan
senang hati menunggu buah hatinya terapi bicara 2 kali seminggu. Terapi pun
dilakukan dengan tertib dan disiplin; setiap tugas yang diberikan oleh terapis
dikerjakan dengan baik. Kesabaran, penerimaan yang baik, serta kerja sama ibu
dan ayah yang erat, terbukti memberikan hasil yang bermakna.
Dalam waktu 2 tahun, anak tersebut sudah bisa berbicara
dengan cukup lancar dan bisa mengikuti pendidikan prasekolahnya dengan baik. Kedua
ilustrasi di atas diharapkan dapat memberikan gambaran bagi ibu dan ayah yang
memiliki anak berkebutuhan khusus bahwa tak mudah untuk menghadapi anak
berkebutuhan khusus. Kadang orangtua putus asa, tetapi kemauan dan usaha yang
keras dapat mengatasi kesulitan tersebut.
Memang, tak dapat dipungkiri bahwa orangtua dari anak
berkebutuhan khusus pasti menghadapi lebih banyak kekhawatiran; bagaimana
mereka membawa anaknya ke pegawai kesehatan, pemilihan sekolah yang sesuai,
berkunjung ke dokter secara rutin, mengatasi stres dan frustrasi tingkat
tinggi.
Walapun demikian, orangtua harus tetap bisa berada dalam
kondisi yang sehat, baik secara fisik maupun psikologis.
TIPS BAGI ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.
1. Segera bawa anak ke petugas kesehatan untuk diperiksa.
Ketika ibu dan ayah menemukan kondisi bahwa anaknya
termasuk anak yang berisiko sebagai anak berkebutuhan khusus, segera bawa anak
ke petugas kesehatan setempat (pegawai puskesmas) atau dokter untuk diperiksa
dan dilakukan rujukan sesuai kondisi anak. Namun,
ibu dan ayah tidak perlu cepat-cepat memberikan label/cap kebutuhan khusus pada
anaknya, seperti anak yang tidak bisa bicara dan tidak mau bermain dengan teman
sebaya langsung dicap autis, anak usia batita yang bergerak terus dilabelkan
hiperaktif, dan lain-lain. Penentuan gangguan yang dialami anak harus dilakukan
oleh ahlinya.
2. Orangtua harus mendidik dirinya sendiri.
Pertama-tama tentunya ibu dan ayah harus tahu tentang
pola perkembangan anak. Selanjutnya, dengan dibantu oleh guru dan pegawai
kesehatan, orangtua memantau perkembangan anak melalui DDTK pada kartu KMS
ataukartu DDTK. Dengan begitu, ibu dan ayah akan tahu, apakah perkembangan
anaknya sudah sesuai atau belum.
Jika sudah diketahui bahwa anak didiagnosis dengan
kebutuhan khusus tertentu, maka perbanyak pengetahuan dan informasi tentang
gangguan atau penyakit yang diderita oleh anak. Dengan demikian ibu dan ayah
bisa memperlakukan anak secara lebih tepat, karena orangtua adalah orang yang
paling mengetahui karakteristik dan kondisi anak. Juga, perbanyak diskusi
dengan ahlinya tentang pengetahuan dan informasi yang didapatkan orangtua untuk
kepentingan si anak secara proporsional (seimbang).
3. Penanganan lebih lanjut oleh tim ahli.
Anak berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan lanjut
yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Sebagai langkah pertama, ibu dan ayah
membawa anak yang dicurigai ada gangguan atau keterlambatan perkembangan ke
pospaud untuk dinilai oleh guru dan petugas kesehatan. Apabila dinilai ada
keterlambatan perkembangan atau gangguan perkembangan akan dirujuk ke
puskesmas.
Di puskesmas sudah ada petugas kesehatan seperti dokter,
perawat, dan bidan yang siap membantu. Apabila memang anak tersebut berisiko
termasuk anak berkebutuhan khusus, biasanya memerlukan penanganan lebih lanjut
di rumah sakit Kabupaten,berupa pemeriksaan oleh dokter ahli, psikolog, dan
kemudian menjalani terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Sedangkan untuk pendidikannya memerlukan pendidikan
khusus seperti SLB (Sekolah Luar Biasa), disesuaikan dengan diagnosis anak.
Ketika memilih terapis, coba perhatikan, selain pengalaman dan kemampuannya
yang mumpuni, juga banyak direkomendasikan (disarankan) oleh orangtua lainnya.
Carilah tenaga profesional yang memiliki sikap optimis
(penuh harapan) akan kondisi anak dan memiliki antusiasme (minat yang besar)
dalam menolong anak kita. Terapis yang baik adalah terapis yang mampu bekerja
sama dengan orangtua dan anak, serta tahu betul dan bisa memberikan terapi yang
benar-benar sesuai dengan kondisi anak secara individu.
Terapis seperti ini akan memberikan peluang yang besar
agar anak bisa berkembang dengan lebih baik.
4. Hidup dengan anak berkebutuhan khusus sangat penuh tuntutan
Sehingga ibu dan ayah harus tinggal dalam lingkungan
yang menunjukkan kesediaan untuk menolong. Harus ada pembantu atau pengasuh
yang juga belajar tentang dasar-dasar terapi dan perlakuan yang harus diberikan
kepada si anak, agar ibu dan ayah bisa secara bergantian dengan pembantu atau
pengasuh melakukan terapi dan perlakuan tertentu di rumah. Ketika pembantu atau
pengasuh menggantikan peran orangtua, maka orangtua dapat memanfaatkan waktunya
untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga kembali, sehingga orangtua bisa
terhindar dari kelelahan yang amat sangat. Ikutlah bergabung dengan kelompok
pendukung orangtua anak berkebutuhan khusus yang sama, terlibat di dalam
kelompok itu akan memberikan penguatan secara fisik maupun mental.
Ibu dan ayah dapat berbagi pengalaman dan memetik
pengalaman dari orangtua lain yang sudah lebih berpengalaman. Penguatan dari
kelompok yang sama akan memberikan makna yang sangat berarti. Seperti kegiatan
yang dilakukan di klinik tempat penulis bergabung, secara regular (teratur)
melakukan pertemuan untuk orangtua dari anak dengan sindroma down. Di dalam
pertemuan itu dilakukan berbagai macam kegiatan, dari penambahan pengetahuan
tentang sindroma down, pengembangan keterampilan di dalam melatih anak dengan
sindroma down untuk latihan BAB dan BAK maupun kegiatan sehari-sehari, juga
kesempatan bagi ibu dan ayah yang baru memiliki anak dengan sindroma down untuk
berbagi kisah dengan orangtua yang telah lama memiliki anak sindroma down,
serta mendapatkan dukungan moral dan cara-cara mengatasinya.
5. Mengubah harapan tentang apa-apa yang bisa dicapai oleh anak
berkebutuhan khusus.
Jangan pernah mencoba membanding-bandingkan dengan anak
lain; setiap anak memiliki cara dan kecepatan untuk berkembang yang berbeda dan
sangat khas. Apalagi jika anak itu adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Lebih baik pusatkan perhatian pada hal-hal yang bisa anak lakukan, cara ini
akan mengurangi tingkat stres ibu dan ayah dalam menghadapi anak. Ketika anak
baru mampu mengaduk gula di dalam segelas air teh, jangan memaksa ia untuk bisa
membuat teh manis dengan takaran yang pas secara mandiri. Jika anak berkebutuhan
khusus kita memiliki keterbatasan kemampuan intelektualnya, janganlah ibu dan ayah
mempunyai harapan tinggi pada anaknya untuk memiliki kemampuan di sekolah yang
kurang lebih sama dengan anak seusianya.
Lebih baik ibu dan ayah mencoba mencari aspek-aspek lain
dalam diri anak yang mungkin masih bisa dikembangkan. Jika anak terlihat ada
kemampuan di bidang olahraga atau seni atau keterampilan lainnya, coba berikan
wadah agar anak dapat mengembangkan kemampuan itu. Mengutip kisah dari sahabat
penulis tentang anaknya yang berkebutuhan khusus namun memiliki kecerdasan
gerak yang menonjol, ia berikan kesempatan dan siapkan pelatih renang yang
baik. Hasilnya, saat ini anak tersebut sudah mampu melakukan empat macam
gerakan renang, suatu kemampuan yang mungkin tidak semua anak normal bisa
mencapainya. Banyak anak autisme memiliki kecerdasan gambar yang tinggi,
sehingga orangtua dapat mengarahkan dengan memasukkan anak ke sanggar lukis.
6. Bersikap proaktif (lebih aktif) atas perlakuan yang diberikan
kepada anak.
Jika ibu dan ayah memiliki pertanyaan atas pengobatan
atau perlakuan yang diberikan kepada anaknya, maka ibu dan ayah wajib
mempertanyakannya, tidak perlu ragu karena itu merupakan hak orangtua. Ibu dan
ayah adalah orang yang paling mengenal anaknya, sehingga jika ada perlakuan
yang kurang tepat, ibu dan ayah dapat menyampaikannya.
Menjadi proaktif adalah cara untuk memastikan bahwa anak
kita memperoleh perlakuan yang tepat dan sesuai bagi dirinya dan kita telah
berbuat segala sesuatu yang mungkin kita lakukan bagi anak kita.
DDTK PUSKESMAS RSUD RSUP
DDTK merupakan alat pemantauan perkembangan anak yang
dapat dilakukan oleh orangtua atau kader di rumah. Hasil pemantauan anak
tersebut dapat diperkirakan apakah ALB/ABK atau sesuai.
PUSKESMAS, dokter, petugas kesehatan, perawat, bidan
adalah orang-orang yang akan memeriksa kembali ALB/ABK yang datang. Untuk ALB
bisa ditangani di tingkat puskesmas saja, namun jika ABK harus dirujuk ke
tempat yang lebih lengkap yaitu RSUD atau RSUP.
DAFTAR LEMBAGA PEMERHATI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
- Happy Kids Therapy, Jakarta. CP: Silvia Yuliani. Telp. (021) 554 2722, 0812 8983 263. E-mail: silvia.yuliani@yahoo.com
- High/Scope Indonesia, Jl. TB Simatupang 8, Cilandak, Jakarta 12430. Telp. (021) 7591 7888
- Indraprasta II – Bogor 16152. Telp. (0251) 835 4866
- Klinik Pela 9, Jl. Pela No. 9, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Telp. (021) 726 2849, (021) 7091 1966, (021) 7091 1966
- Klinik Tumbuh kembang Anak FLOWRIDHA, Perum Puri Gentan Asri No. 7, Bulusan Rt 01 Rw 19, Sardonoharjo, Nganglik, Sleman, Jogjakarta, CP: Dwi, Amd. OT. Telp. 0881 2682 738
- PERKUMPULAN PEDULI ANAK, JL. H. Ahmad Sobana Kav. 17-19, Bogor. Telp (0251) 7191957
- PG,TK, SD Lentera Insan, Jl. Akses UI (Samping Puskesmas Tugu), Depok. Telp. (021) 919 1558
- Prasekolah, TK, SD Cikal, Jl. TB Simatupang Kav. 18, Jakarta. Telp. (021) 7590 2570/80
- RS Azra Jl. Pajajaran 219, Bogor , Telp. (0251) 318 456
- RSIA Hermina Bekasi, Jl. Kemakmuran No. 39, Margajaya, Bekasi. Telp. (021) 884 2121 (Hunting). Fax. (021) 8895 2275. E-mail: bekasi@herminahospitalgroup.com
- RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO, Jl. Diponegoro No.,71, Jakarta Pusat. Telp. (021) 391 8301-11. Fax. (021) 3134 8991
- 22 Orang Tua dengan Anak yang Berkebutuhan Khusus
- Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin, Jl. Jend. A. Yani No. 43, Banjarmasin 70233. Telp. (0511) 325 7472, (0511) 325 2180. Fax. (0511) 252 229. Homepage: www.rsudulin.com
- SD Pantara. Jl. Senopati Raya 72, Kebayoran Baru, Jakarta 12110. Telp. (021) 723 4581
- SD Umum Terpadu SPECTRUM Kelurahan Sawah Baru, RT 02/RW 05 (Dekat Pintu Tol BSD, Bintaro, Tangerang). Telp. (021) 7486 3152
- Sekolah Mandiga. Jl. Mulawarman No 3, Jakarta Selatan. Telp. (021) 722 0153
- TK, SD Bani Saleh. Jl. Graha Permai 2 Blok E-5, Margahayu, Bekasi Timur. Telp. (021) 881 7088
- TK, SD Islam Fitrah Al Fikri, Jl. Raden Saleh Raya, Studio Alam TVRI, Sukmajaya, Depok., Telp. (021) 7782 6868
- Today’s Club Education. Villa Bogor Indah, Ruko Blok E3/2 Lt. 2, Bogor. Telp. (0251) 656 587
- Yayasan Autisme Indonesia, Jl. Buncit Raya No 55, Jakarta Selatan 12760. Telp.????
- Yayasan La Sipala. Komp. Baranang Siang Indah IV Blok D No. 31, Bogor. Telp. (0251) 325 200
- Yayasan Mutiara Bunda di Gunung Putri, JL. Rambutan VIII Blok C 19 no. 1 Bogor, Telp. (021) 867 0077
- Yayasan
Mutiara Bunda. Villa Bogor Indah, Blok E3 No. 21, Bogor. Telp. (0251) 661
256
SUMBER BACAAN
1. Family Education department, Essential Parenting Tips,
Singapore: Ministry of Community Development and Sports. 2001
2. http://rscm.co.id/
3. http://www.businessballs.com/elisabeth_kubler_ross_five_ stages_of_grief.htm
4.http://www.ehow.com/how_2054838_deal-special-needs-children. html#ixzz0zOGeeElC
5.http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=05241&rubrik =teropong
6. Ichsan Teti., Buah hatiku memiliki Sindroma down. Jakarta: Insos Books.2010
7. Kaltimpost.co.id. Oscar Yura Dompas (Rabu, 27 Mei 2009)
8. kamera-digital forum/ 14.09.2006
9. www.rsiahermina.com/
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan
Informal
Kementerian Pendidikan Nasiona
Tahun 2011
Pusat Terapi dan Tumbuh Kembang Anak (PTTKA) Rumah Sahabat Yogyakarta melayani deteksi dini anak berkebutuhan khusus dengan psikolog, terapi wicara, sensori integrasi, fisioterapi, behavior terapi, Renang& musik untuk anak berkebutuhan khusus, terapi terpadu untuk autism, ADD, ADHD, home visit terapi & program pendampingan ke sekolah umum. informasi lebih lanjut hubungi 0274 8267882 atau bisa buka web www.pttkarumahsahabat.com
BalasHapus